“Nikah Muda Dipandang Dari Sudut Kesehatan!”

Debrine Stefany, S.Pd (Duki no. 148)
SDN Cenlencen 1, Kab. Sumenep

Madura – Pernikahan udin (usia dini) di daerah Madura masih marak terjadi namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah-daerah lainnya yang termasuk di wilayah Indonesia. Penyebab utama terjadinya pernikahan udin adalah faktor budaya dan sosioekonomi, sebab pihak keluarga atau orang tua memiliki anggapan bahwa anak gadis mereka dapat menjadi alat “penyelamat” perekonomian kebutuhan mereka sehingga beban ekonomi dalam keluarga akan berkurang jika anak mereka bisa segera dinikahkan. Tanpa pikir panjang keluarga dari pihak perempuan yang menikahkan anak gadisnya di usia muda tidak lagi memikirkan dampak terbesar dari perlakuan mereka terhadap anak gadis yang harus menikah di usia dini. Mereka telah mengorbankan perkembangan fisik dan mental wanita. Selain itu, pendidikan harus terhenti karena menikah muda dan kehamilan di usia yang belum matang akan menimbulkan risiko penyakit yang berbahaya. Bisa saja dengan usia yang sangat muda akan menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang mengarah pada perceraian akibat ketidakstabilan usia mereka dalam menjalani bahtera rumah tangga.

Pada umumnya, anak-anak muda di Madura yang melangsungkan pernikahan udin pasti wanitanya tidak akan bisa bekerja karena pihak laki-laki akan mengekang mereka dan meminta mereka untuk mengurus suami dan anak saja. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang kurang dari pihak keluarga mereka yang memaksakan terjadinya pernikahan udin. Pernikahan udin dapat menimbulkan banyak dampak negatif bagi kesehatan pasangan. Berdasarkan Laporan Kajian Perkawinan Usia Anak di Indonesia, tingginya angka pernikahan usia dini dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan usia dini juga dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan anak-anak mereka di kemudian hari. Pernikahan udin bukanlah satu-satunya solusi, karena pernikahan udin justru bisa menimbulkan perkara lain.

Berikut ini adalah dampak kesehatan fisik alasan pernikahan udin agar tidak lagi banyak terjadi, di antaranya:

  • Hamil di usia remaja berisiko tinggi terhadap tingginya tekanan darah. Seseorang mungkin dapat mengalami preeklampsia yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein dalam urine, dan tanda kerusakan organ lainnya.
  • Anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan kesulitan saat melahirkan.
  • Bayi yang lahir secara prematur biasanya memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) karena sebenarnya ia belum siap untuk dilahirkan. Bayi lahir prematur berisiko mengalami gangguan pernapasan, pencernaan, penglihatan, kognitif, dan masalah lainnya.
  • Perempuan di bawah usia 18 tahun yang hamil dan melahirkan berisiko mengalami kematian saat persalinan. Ini karena tubuhnya belum matang dan siap secara fisik saat melahirkan.
  • Organ reproduksi pada perempuan di bawah usia 20 tahun belum matang dengan sempurna dapat berisiko menimbulkan berbagai penyakit, seperti kanker serviks dan kanker payudara.

Di sisi lain juga ada dampak kesehatan mental akibat pernikahan udin, di antaranya:

  • Rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mereka belum tahu bagaimana cara terbebas dari situasi tersebut.
  • Anak-anak buah hati mereka dalam sebuah perkawinan yang menjadi saksi mata dalam kasus kekerasan di rumahnya akan tumbuh dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar dan terbatasnya keterampilan social bahkan kerap kali mereka menunjukkan perilaku nakal, berisiko depresi atau gangguan kecemasan berat.

Pernikahan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Perlu kematangan baik dalam fisik, psikologis, maupun emosional. Inilah mengapa pernikahan udin tidak disarankan dan alasan angka pernikahan udin harus ditekan sebab untuk menjalani pernikahan yang bahagia dibutuhkan kedewasaan diri secara mental dan finansial yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk membina rumah tangga. Seperti yang telah diatur pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal perkawinan untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun, dari segi kesehatan, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mengkampanyekan batasan usia yang ideal untuk menikah baik dari segi fisik maupun mental, yaitu minimal 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun pada pria. Oleh karena itu, sebaiknya pasangan memperhitungkan usia yang ideal untuk menikah, terutama dari segi kesehatan.

Sebagai upaya pencegahan bahaya kesehatan yang diakibatkan pernikahan udin, maka sangat penting dilakukannya pendidikan. Dengan pendidikan, maka wawasan anak dan remaja dapat membantu meyakinkan mereka bahwa menikah seharusnya dilakukan pada usia yang tepat. Selain itu, anak perlu mengetahui bahwa menikah bukan sebuah paksaan dan bukan jalan keluar untuk keluar dari kemiskinan maka dari itulah, pendidikan saat ini di era 4.0 tidak hanya ditekankan anak harus pintar dalam menguasai mata pelajaran saja akan tetapi mereka perlu adanya tambahan wawasan terutama terampil dalam hidup, mengembangkan karir, dan cita-cita. Melalui pendidikan diharapkan dapat memberi informasi mengenai kesehatan tubuh dan sistem reproduksi remaja saat ia nanti menikah sebagai bekal yang perlu diketahui mengenai dampak kesehatan dari pernikahan udin dan keluarga harus menjadi tempat yang nyaman maupun aman bagi anak-anak gadis mereka agar tidak menjadi korban keegoisan orangtua dalam mengambil keputusan yang nantinya akan merugikan masa depan anak-anaknya.

Referensi:

  • NHS. Diakses pada 2020. Teenage pregnancy death concern.
  • Unicef. Diakses pada 2020. Child marriage is a violation of human rights, but is all too common.
  • WebMD. Diakses pada 2020. Teen Pregnancy: Medical Risks and Realities.
  • Fadlyana, Eddy dan Shinta Larasaty. 2009. “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya”. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2. hlm 136 – 140.
  • Djamilah dan Reni Kartikawati. 2014. “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”. Jurnal Studi Pemuda, Vol. 3, No. 1. hlm 1 – 16.
  • Arimurti, Intan dan Ira Nurmala. 2017. “Analisis Pengetahuan Perempuan terhadap Perilaku Melakukan  Pernikahan Usia Dini di Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso”. The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 12, No. 2. hlm 249 – 262.
  • Priohutomo, Sigit. 2018. “Mencegah Pernikahan Anak melalui Program KKBPK”. Disampaikan pada Seminar Nasional Kependudukan, Banjarmasin. BKKBN
  • Isa, Muhammad. 2017. “Ringkasan Studi: Tren Usia Perkawinan Pertama di Indonesia”. Brief Notes Lembaga Demografi FEB UI.
  • Pohan, NH. 2017. “Faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini terhadap Remaja Putri”. Jurnal Endurance, Vol. 2, No. 3. hlm. 424 – 435.
  • Mubasyaroh. 2016. “Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini dan Dampaknya bagi Pelakunya”. Jurnal Yudisia STAIN Kudus, Vol. 7, No.2, hlm. 285 – 411.