Bahayanya menikah di usia dini

Oleh Abdalina Kasim, S.Pd.I (Duki no. 191)
SDN Beroanging, Kota Makassar

Dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul menegaskan bahwa pernikahan merupakan hubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan yang kuat dan terhormat.Dalam kehidupan manusia pernikahan selalu diatur sedemikian rupa melalui agama, adat istiadat, maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Mengacu pada undang undang perkawinan pasal 7 UU no. 1 tahun 1974 yang menetapkan bahwa umur untuk menikah bagi laki-laki sekurang-kurangya 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Dengan  berbagai macam undang-undang tentang pernikahan yang berbeda-beda. Sehingga menimbulkan persepsi seseorang dalam menikahkan seorang anak.

Pernikahan merupakan sesuatu hal yang fitrah bagi setiap manusia dan merupakan suatu hal yang dianjurkan oleh seluruh agama termasuk Islam untuk meneruskan dan menjaga keturunannya. Pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai seorang suami isteri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Akan tetapi pernikahan tersebut akan menjadi hal yang menarik ketika yang menjalaninya adalah seorang remaja atau anak yang masih dibawah umur apalagi anak tersebut masih berstatus sebagai seorang pelajar.

Faktanya, pernikahan usia dini masih terjadi di banyak negara termasuk Indonesia. Kondisi itu biasanya terjadi karena faktor budaya dan social ekonomi. Banyak pihak orang tua yang menganggap anak menjadi penyelamat keuangan keluarga ketika menikah. Bahkan parahnya, ada juga yang menganggap anak belum menikah jadi beban finansial keluarga. Saya sendiri sebagai penulis terkejut mendengarnya. Tingkat pendidikan orang tua juga memicu pernikahan dini. Orang tua menjadi kurang edukasi untuk mencegah pernikahan di usia anak. Selain itu, perkawinan usia anak juga bisa terjadi karena tradisi dan budaya, seperti menikah setelah mendapat haid pertama atau stigma terlambat menikah setelah masa pubertas sebagai aib keluarga. Perkawinan pada usia anak merupakan masalah yang sangat serius karena mengandung berbagai risiko dari berbagai aspek, seperti kesehatan, psikologi, dan sosiologi.

Adapun usia pernikahan wajar menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Sehingga mereka yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah pernikahan tidak wajar karena usia belum matang, organ intim dan reproduksi sedang berkembang serta mental yang masih belum stabil. Perlu menunda hubungan seksual hingga umur secara biologis bisa disebut siap, mental menjadi dewasa serta finansial yang memadai karena perkawinan usia anak tidak memberikan dampak positif pada siapapun dan hanya menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga, dan bagi bangsa.

Jika perkawinan usia anak tidak segera dihentikan, dampaknya akan semakin kompleks. Antara lain dampak kemanusiaan, kesehatan, ekonomi, dan masih banyak lagi. Sementara itu, dampak psikologis yang ditimbulkan tidak main-main secara psikologi, perkawinan usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, kemudian emosi nggak berkembang dengan matang. Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri. Hal ini karena si anak belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi Ibu atau orang tua.

Selain itu, perkawinan usia anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori.  Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga serta terjadi perceraian. Di sisi lain, tuntutan bersosialisasi dalam masyarakat atau menghadapi pandangan masyarakat akan membuat si anak merasa tertekan dan cenderung menutup diri dari aktivitas social. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas menurun dan sedikit peluang untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, perkawinan usia anak, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan, seperti depresi setelah melahirkan (baby blue syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan. Pada perkawinan usia anak, rentan terjadi dominasi oleh pasangan yang lebih tua. Sehingga kemungkinan pasangan yang lebih muda tidak berani untuk meminta hubungan seks dengan alat pengendali kehamilan agar tidak hamil di usia muda, padahal hubungan seksual yang dilakukan di usia dini, secara terpaksa, dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicu kemungkinan kerusakan organ intim. Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan ovulasi/hamil di jangka panjang.

Banyak pendapat dari para dokter spesialis kandungan  mengatakan bahwa  gangguan mental dan kesehatan ibu hamil ternyata berdampak juga pada anak yang dilahirkan. Misalnya, rawan terjadi gangguan mental seperti down syndrome serta berisiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibandingkan mereka yang lahir dari pernikahan usia matang dan bahagia. Sedangkan gangguan pada kesehatan, misalnya terjadi cacat lahir. Akibat tulang belakang bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau efek pada tulang belakang dan saraf tulang belakang (spina bifida ).  Kesulitan anak perempuan dari pasangan perkawinan usia anak tak hanya dirasakan pada saat hamil dan melahirkan, tetapi juga saat membesarkan anak. Akibat keterbatasan finansial dan mobilitas serta keterbatasan berpendapat seringkali membuat anak perempuan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya termasuk juga ketidaksiapan emosional orang tua karena memiliki anak.  Akibatnya, dapat terjadi risiko penelantaran bayi atau pengasuhan yang tidak tepat. Jika ini terjadi maka pada perkembangan lanjutannya, anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia dini .

Di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, terjadi lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia.Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Susilowati Suparto, M.H., peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga.

Para pekerja yang juga orang tua tersebut seringkali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga, ungkap Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad, Jumat (3/7).

Kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. Susilowati menuturkan, aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Ini terjadi bila pengawasan orangtua terhadap anaknya sangat lemah. Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan Kehamilan di Luar nikah dan menyebabkan angka pernikahan  meningkat di masa pandemi ini. Kiranya ini menjadi perhatian pemerintah,orang tua, guru, dan para praktisi pendidikan untuk sama-sama kita melakukan perlindungan kepada anak-anak kita  demi kepentingan terbaik bagi mereka  sebagai generasi penerus bangsa.